Minggu, 03 November 2013

Peran Kebijakan dalam Meningkatkan Partisipasi dan Keterwakilan Perempuan di Parlemen





Peran Kebijakan dalam Meningkatkan Partisipasi dan Keterwakilan Perempuan di Parlemen
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Globalisasi dan Isu-isu Kebijakan Publik


MAKALAH


oleh
Laili Alfiati Imamah
NIM 100910201080

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
2013




BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Meningkatkan jumlah perempuan di panggung politik merupakan isu yang seringkali diperdebatkan. Sejak tahun 2002, mayoritas para aktivis politik, tokoh-tokoh perempuan dalam partai politik, kalangan akademisi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (SDM) setuju akan perlunya peningkatan partisipasi politik perempuan di Indonesia. Ada banyak alasan yang menjadikan isu ini menjadi topik perdebatan yang kian menghangat di Indonesia. Pertama, keterwakilan politik perempuan Indonesia baik di tingkat nasional maupun lokal masih sangat rendah. Secara historis perjalanan perempuan di dalam parlemen tidak pernah melebihi angka 18 persen di DPR. Angka itu pun baru dapat diperoleh pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 lalu. Bahkan, DPR RI pada Periode Konstituante 1956-1959 pernah menorehkan angka terendah jumlah kursi perempuan di parlemen dengan angka 5,1 persen. Tidak hanya di tingkat pusat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota juga mengalami persoalan yang sama. Hasil Pemilu 2009 lalu keterwakilan perempuan di DPRD Provinsi secara rata-rata adalah 16 persen, sementara DPRD Kabupaten/Kota adalah 12 persen. Kedua, berkaitan dengan alot-nya proses transisi demokrasi di Indonesia. Transisi tersebut sebenarnya memberikan peluang untuk meningkatkan keter- wakilan perempuan. Telah banyak LSM perempuan yang bergerak di bidang politik dan perempuan saat ini mulai berusaha meningkatkan kesadaran politik kaumnya. Oleh karena itu, kini lembaga-lembaga politik di Indonesia mendapat tekanan yang kuat untuk menjadikan isu kepentingan perempuan (jender) sebagai unsur yang penting di dalam proses demokrasi.
Isu kesetaraan jender juga mendapatkan perhatian yang luas dalam perdebatan politik di Indonesia menjelang Pemilu tahun 2004. Hal ini berdampak pada penerapan UU Pemilu yang telah mengakomodasi aksi afirmasi kuota minimal 30 persen pencalonan perempuan dalam daftar. Aksi afirmasi dalam UU Pemilu ini berkembang pada Pemilu 2009 dengan diterapkannya kolaborasi sistem kuota dengan sistem zipper. Perempuan tidak hanya dicalonkan dengan angka kuota 30 persen, tetapi juga harus disertakan dalam daftar minimal satu perempuan di antara tiga calon. Sayangnya, kebijakan afirmasi ini tidak lagi berlaku sejak diterapkannya judicial review atas UU Pemilu No.12 Tahun 2003 di penghujung tahun 2008. 
Hal yang menjadi catatan atas penerapan aksi afirmasi pada dua pemilu tersebut adalah tidak patuhnya partai politik memenuhi 30 persen keterwakilan perempuan dalam pencalonan. Secara keseluruhan, jumlah calon legislatif (caleg) perempuan memang telah memenuhi kuota minimum yakni 32,3 persen pada Pemilu 2004 dan 34,7 persen pada Pemilu 2009 untuk DPR RI. Namun demikian, jika diperhatikan dengan seksama maka terdapat partai politik termasuk partai politik besar seperti Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Gerindra yang tidak memenuhi kuota 30 persen caleg perempuan pada pelaksanaan Pemilu 2009. Situasi yang sama juga terjadi di pemilu untuk tingkat DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Umumnya partai politik yang tidak berhasil memenuhi kuota tersebut beralasan  rendahnya ketersediaan kader perempuan berkualitas menjadi caleg. 
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 telah banyak mempengaruhi kehidupan kaum perempuan dan anak-anak. Akibat krisis itu antara lain tingginya angka kematian ibu dan bayi, buruknya kondisi kesehatan anak, meningkatnya arus pekerja migran perempuan (Tenaga Kerja Wanita/TKW), serta meningkatnya angka drop-out sekolah dan angka pengangguran khususnya perempuan. Dampak buruk itu telah meningkatkan kesadaran tentang perlunya menyusun sebuah agenda politik yang lebih peka jender (gender sensitive). Kehadiran kaum perempuan dalam dunia politik merupakan prasyarat bagi terwujudnya masyarakat yang memiliki kesetaraan jender. Keterwakilan perempuan dalam parlemen merupakan hal yang sangat penting, karena diyakini dapat memberikan perubahan positif dalam proses pembuatan kebijakan yang lebih baik untuk masyarakat
Pendek kata, kebutuhan untuk meningkatkan keterwakilan politik kaum perempuan di Indonesia berpangkal dari suatu kesadaran bahwa semua prioritas dan agenda politik harus dirombak, dan semua itu mustahil dapat dicapai dengan sistem politik tradisional. Jika kaum perempuan mau tampil ke depan dan memegang berbagai posisi publik, niscaya mereka akan mampu membangun dan menetapkan nilai-nilai sosial dan ekonomi baru yang sesuai dengan kepentingan mereka. Meningkatkan keterwakilan politik perempuan berarti juga meningkatkan keefektifan mereka dalam mempengaruhi keputusan- keputusan politik yang akan dapat menjamin hak-hak kelompok perempuan dan masyarakat luas, serta mengalokasikan berbagai sumber daya yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Dari berbagai hasil kajian terdahulu mengenai partisipasi politik perempuan di Indonesia, dapat diidentifikasi beberapa faktor yang menghambat peran serta kaum perempuan, sekaligus mengusulkan beberapa strategi untuk mengurangi dan sedapat mungkin menghilangkan persoalan-persoalan itu. Faktor-faktor itu dapat dikategorikan ke dalam bidang politik, sosial-ekonomi, ideologi dan psikologi. Faktor-faktor politik adalah kurangnya dukungan parpol terhadap perempuan. Secara lebih spesifik, sistem politik dan partai-partai politik Indonesia dinilai sangat tidak peka jender. Akibatnya, kaum perempuan berikut isu-isu yang menyangkut diri mereka menjadi diremehkan. Faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap sistem politik ialah adanya persepsi yang menganggap perempuan hanya tepat menjadi ibu rumah tangga dan tidak cocok untuk berperan aktif dalam fungsi publik di masyarakat, apalagi aktor politik. Pemikiran ini jelas sangat membatasi peluang perempuan untuk berperan aktif di panggung politik. Tidak hanya itu, kinerja parpol di Indonesia pun dianggap sebagai salah satu kendala terbesar terhadap peran serta perempuan. Penunjukan dan pengangkatan tokoh perempuan di dalam parpol kerapkali dihambat dan ditentang. Hal ini dikarenakan struktur politik  Indonesia yang dibangun di atas jaringan eksklusif, yang didominasi oleh kaum lelaki. Kepemimpinan dalam struktur politik pun didominasi oleh laki-laki. Di samping itu, kurangnya transparansi dalam pemilihan pemimpin parpol sangat membatasi peluang kaum perempuan dalam upaya mereka memposisikan diri sebagai kandidat yang pantas. Loyalitas pribadi, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) menjadi kumpulan penyakit yang menggerogoti sistem politik saat ini. Keengganan parpol untuk memasukkan agenda perempuan juga menjadi salah satu kendala besar.
Kurangnya peran serta perempuan dalam politik, terutama di lembaga-lembaga politik secara tidak langsung berhubungan dengan faktor-faktor ideologis dan psikologis yang fundamental.  Hal ini diperlihatkan dengan adanya fakta bahwa perempuan yang aktif bergerak di lembaga politik enggan memegang peran sebagai pimpinan karena mereka memandang parpol sebagai arena yang dikuasai lelaki. Sidang-sidang parpol yang sarat konflik dan sesekali diwarnai kekerasan fisik, serta pergulatan tanpa henti untuk memperebutkan kedudukan dan kekuasaan merupakan beberapa hal yang menciutkan nyali mereka. Mereka lebih suka menjauhkan diri dari praktek politik seperti itu. 
Kurangnya sistem pendukung dan basis dukungan bagi kaum dan kelompok-kelompok perempuan juga disoroti sebagai kendala besar terhadap partisipasi politik perempuan. Di samping itu, belum ada satupun organisasi yang bisa berperan melakukan koordinasi pembentukan basis dukungan ini secara baik, termasuk partai politik. Minimnya dukungan juga sangat berpengaruh terhadap kualitas kerja perempuan di lembaga-lembaga politik, khususnya dalam upaya merekrut kader politik perempuan. Terlebih lagi, rendahnya koordinasi antar kelompok yang bergerak dalam urusan jender juga mempengaruhi tingkat kesiapan kaum perempuan dalam menyambut pemilu yang akan datang, di mana salah satu persyaratan utamanya ialah mengidentifikasi kandidat politisi perempuan potensial.
Secara umum, hampir semua parpol memiliki divisi atau sayap yang bergerak dalam urusan perempuan. Parpol juga memiliki berbagai organisasi afiliasi yang dapat dimanfaatkan untuk merekrut politisi perempuan. Sebagai contoh, Partai Kebangkitan Nasional (PKB) mempunyai organisasi Perempuan Partai Kebangkitan Bangsa sebagai salah satu sayap politiknya, di samping beberapa organisasi afiliasi lain seperti Fatayat NU dan Muslimat NU. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memiliki Perempuan Persatuan; dan Partai Amanat Nasional (PAN) juga memiliki organisasi afiliasi seperti Perempuan Amanat Nasional dan Aisyiah. Selain divisi perempuan dan organisasi afiliasi parpol, kandidat perempuan dapat juga direkrut dari kalangan akar padi. Bahkan terdapat juga perempuan yang mungkin belum terdaftar sebagai anggota parpol, tetapi mereka telah berkomitmen mengabdikan diri untuk memberdayakan perempuan dan bersedia duduk di dalam posisi kepengurusan parpol. 
Banyak LSM seperti Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPI), Jaringan Perempuan dan Politik (JPP), dan Solidaritas Perempuan (SP); semuanya bekerja keras untuk memberdayakan kaum perempuan.  LSM-LSM memiliki jaringan yang luas dan aktivitas mereka menembus batas-batas wilayah, baik provinsi maupun daerah tingkat satu di Indonesia. Akan tetapi, keberhasilan partisipasi mereka sangat bergantung pada kemauan parpol untuk merekrut ‘perempuan-perempuan potensial’ yang berasal dari luar basis tradisional mereka.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa keterwakilan perempuan memiliki peran yang sangat penting dalam membawa kepentingan dan kebutuhan perempuan di dalam kebijakan. Namun di sisi lain perempuan membutuhkan pemberdayaan melalui peran kebijakan pemerintah untuk meningkatkan partisipasi dan keterwakilannya di parlemen yang akan di kaji dalam karya tulis yang berjudul Peran Kebijakan dalam Meningkatkan Partisipasi dan Keterwakilan Perempuan di Parlemen.
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan ulasan latar belakang permasalahan diatas, maka kajian Peran Kebijakan dalam Meningkatkan Partisipasi dan Keterwakilan Perempuan di Parlemen akan menitikberatkan permasalahan pada:
1.      Tantangan Utama terhadap partisipasi perempuan?
2.      Kerangka kebijakan dalam meningkatkan partisipasi perempuan?
3.      Kemajuan Kebijakan Afirmasi terhadap keterwakilan perempuan di parlemen?

1.3  Tujuan
Mengarah pada rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka tujuan penulisan makalah yang berjudul Peran Kebijakan dalam Meningkatkan Partisipasi dan Keterwakilan Perempuan di Parlemen adalah:
1.      Mengetahui tantangan utama terhadap partisipasi perempuan
2.      Mengetahui kerangka kebijakan dalam meningkatkan partisipasi perempuan
3.      Mengetahui impact kemajuan kebijakan afirmasi terhadap keterwakilan perempuan di parlemen.






BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemberdayaan Perempuan
Sulistiyani (2004:7) menjelaskan bahwa “Secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar daya yang berarti kekuatan atau kemampuan”. Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dimaknai sebagai proses untuk memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan, dan atau pemberian daya, kekuatan atau kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya.
Sementara menurut Prijono, S. Onny dan Pranarka, A.M.W (1996:55), pemberdayaan adalah proses kepada masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya dan pemberdayaan harus ditujukan pada kelompok atau lapisan masyarakat yang tertinggal.
Dalam konteks pemberdayaan bagi perempuan, menurut Nursahbani Katjasungkana dalam diskusi Tim Perumus Strategi Pembangunan Nasional (Riant Nugroho, 2008) mengemukakan, ada empat indikator pemberdayaan :
1.      Akses, dalam arti kesamaan hak dalam mengakses sumber daya-sumber daya produktif di dalam lingkungan.
2.      Partisipasi, yaitu keikutsertaan dalam mendayagunakan asset atau sumber daya yang terbatas tersebut.
3.      Kontrol, yaitu bahwa lelaki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk melakukan kontrol atas pemanfaatan sumber daya-sumber daya tersebut.
4.      Manfaat, yaitu bahwa lelaki dan perempuan harus sama-sama menikmati hasil-hasil pemanfaatan sumber daya atau pembangunan secara bersama dan setara.
Profesor Gunawan Sumodiningrat yang dikutip Riant Nugroho (2008) menjelaskan untuk melakukan pemberdayaan perlu tiga langkah yang berkesinambungan.
1.      Pemihakan, artinya perempuan sebagai pihak yang diberdayakan harus dipihaki daripada laki-laki.
2.      Penyiapan, artinya pemberdayaan menuntut kemampuan perempuan untuk bisa ikut mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dan mengambil manfaat.
3.      Perlindungan, artinya memberikan proteksi sampai dapat dilepas.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan adalah proses untuk memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan, dan atau pemberian daya, kekuatan atau kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya.  Menurut Riant Nugroho (2008: 164), tujuan dari program permberdayaan perempuan adalah :
1.      meningkatkan kemampuan kaum perempuan untuk melibatkan diri dalam program pembangunan, sebagai partisipasi aktif (subjek) agar tidak sekedar menjadi objek pembagunan seperti yang terjadi selama ini,
2.      meningkatkan kemampuan kaum perempuan dalam kepemimpinan, untuk meningkatkan posisi tawar-menawar dan keterlibatan dalam setiap pembangunan baik sebagai perencana, pelaksana, maupun melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan,
3.      meningkatkan kemampuan kaum perempuan dalam mengelola usaha skala rumah tangga, industri kecil maupun industri besar untuk menunjang peningkatan kebutuhan rumah tangga, maupun untuk membuka peluang kerja produktif dan mandiri,
4.      meningkatkan peran dan fungsi organisasi perempuan di tingkat lokal sebagai wadah pemberdayaan kaum perempuan agar dapat terlibat secara aktif dalam program pembangunan pada wilayah tempat tinggalnya.
Adapun program-program pemberdayaan perempuan yang ditawarkan menurut Riant Nugroho (2008:165-166) adalah :
1.      penguatan organisasi kelompok perempuan di segala tingkat mulai dari kampung hingga nasional. Seperti misalnya PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga), perkumpulan koperasi maupun yayasan sosial. Penguatan kelembagaan ditujukan untuk meningkatkan kemampuan lembaga agar dapat berperan aktif sebagai perencana, pelaksana, maupun pengontrol,
2.      peningkatan fungsi dan peran organisasi perempuan dalam pemasaran sosial program-program pemberdayaan. Hal ini penting mengingat selama ini program pemberdayaan yang ada, kurang disosialisasikan dan kurang melibatkan peran masyarakat,
3.      pelibatan kelompok perempuan dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring semua program pembangunan yang ada. Keterlibatan perempuan meliputi program pembangunan fisik, penguatan ekonomi, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia,
4.      peningkatan kemampuan kepemimpinan perempuan, agar mempunyai posisi tawar yang setara serta memiliki akses dan peluang untuk terlibat dalam pembangunan,
5.      peningkatan kemampuan anggota kelompok perempuan dalam bidang usaha (skala industri kecil/rumah tangga hingga skala industri besar) dengan berbagai keterampilan yang menunjang seperti kemampuan produksi, kemampuan manajemen usaha serta kemampuan untuk mengakses kredit dan pemasaran yang lebih luas.
2.2 Partisipasi Politik Perempuan
Dalam analisa politik modern partisipasi politik merupakan suatu masalah yang penting, yang akhir-akhir ini banyak pelajari dan diteliti dalam hubungannya dengan perempuan. Partisipasi politik secara umum didefinisikan sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy).  Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai politik atau kelompok kepentingan, menjadi anggota parlemen, mengadakan hubungan contacting dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen.
Di negara-negara demokratis, pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik tidak lain adanya kedaulatan ada di tangan rakyat yang melaksanakannya melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat dan untuk menentukan orang-orang yang memegang tampuk pimpinan (baik tingkat lokal, regional maupun nasional) untuk masa berikutnya.
Partisipasi politik dapat bersifat otonom (autonomous participation) dan yang dimobilisasi atau dikerahkan oleh pihak lain (mobilized participation), bersifat sukarela tanpa paksaan atau tekanan (di negara barat) dan melalui paksaan (di negara komunis), yang mencakup kegiatan yang bersifat positip dan yang bersifat destruktif. Sistem pemilu merupakan sarana paling awal untuk menentukan partisipasi (keterwakilan) yang dikehendaki. Partisipasi di sini diartikan adalah pemberian peluang kepada pemilih untuk menggarisbawahi kehendak politiknya dengan cara dapat memilih partai atau individu. Konkretnya, hal ini berkaitan dengan alternatif sistem distrik pluralitas-mayoritas versus system proporsional atau sistem proporsional berwakil banyak. Tolok ukur partisipasi adalah kemampuan suatu sistem pemilu dalam memberikan peluang kepada pemilih untuk memilih individu, oleh karenanya stelsel daftar tertutup (atau stelsel daftar baku) kerap dinilai sebagai masalah besar karena akan membawa dampak yang substansial terhadap karakteristik pemerintahan yang dihasilkan sesudahnya.
Pada dasarnya sistem pemilu dirancang untuk melaksanakan tiga tugas pokok. Pertama, menerjemahkan jumlah suara yang diperoleh dalam pemilu menjadi kursi di parlemen. Kedua, sistem pemilu bertindak sebagai wahana penghubung yang memungkinkan rakyat dapat menagih tanggung jawab atau janji wakil-wakil rakyat yang telah terpilih. Ketiga, sistem pemilu mendorong pihak-pihak yang bersaing pengaruh supaya melakukannya dengan cara yang tidak sama. Sedangkan menurut Dieter Nohlen ―seorang pakar pemilu dunia― merancang sistem pemilu memiliki 6 misi, yaitu keterwakilan, konsentrasi, efektifitas, partisipasi, mudah, dan legitimasi.
Sistem pemilu dikenal ada tiga kelompok utama, yaitu system pluralitas-mayoritas, semi proporsional, dan perwakilan proporsional. Perdebatan tentang sistem pemilu di Indonesia, umumnya didominasi perdebatan apakah Indonesia akan menganut sistem distrik (pluralitasmayoritas), ataukah akan menganut sistem perwakilan proporsional. Perdebatan ini terjadi karena tidak terdapat makna yang sama tentang apa yang dimaksud dengan perwakilan (representation). Setidaknya ada dua pandangan yang saling bertolak belakang. Pandangan pertama kerap ditafsirkan terkait dengan pandangan yang dikemukakan oleh kelompok yang mendukung pelaksanaan pemilihan umum dengan sistem proporsional. Sedangkan pandangan kedua umumnya dikaitkan dengan para pendukung yang menganjurkan dilaksanakannya pemilihan umum dengan sistem non-proporsional atau lebih dikenal dengan sistem distrik. Dua pemikiran yang bertolak belakang di ataslah yang menghasilkan dua induk besar sistem pemilihan yaitu sistem pemilihan distrik dan system pemilihan proporsional. Baik sistem pemilihan distrik maupun sistem proporsional sama-sama mempunyai kelebihan dan kelemahan. Penyempurnaan dan penyeimbangan bagi kelebihan dan kelemahan kedua sistem pemilihan itu kemudian melahirkan gagasan sistem pemilihan campuran.
Di Indonesia, pemilu 2004 yang dilakukan dengan sistem proporsional terbuka sesuai dengan amanat UU Nomor 12 tahun 2003 merupakan perbaikan dari sistem pemilu 1999 yang menggunakan daftar tertutup. Dengan memberi peluang untuk memberi suara (mencoblos) pada gambar partai politik juga pada kandidat di kartu suara, secara teoritis pemilih tidak terpaku dengan urutan yang disusun oleh partai peserta pemilu. Pemilu 2004 ini diikuti oleh 24 organisasi peserta pemilu (partai politik), oleh masyarakat Internasional diakui sebagai pemilu yang bebas dan demokratis.
Dalam pemilu 1999 tersebut untuk pertama kalinya isu mengenai hak-hak perempuan juga dikedepankan dalam pemilu yang berlangsung. Dari sisi keberagaman isu kampanye pemilu ada kemajuan karena merupakan pemilu pertama yang mengedepankan pentingnya keikursertaan perempuan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam proses politik untuk membangun demokrasi Indonesia.
Partisipasi perempuan dalam politik semakin terbuka dengan adanya Undang Undang Nomor 12 tahun 2003 yang memberikan peluang untuk merebut kursi parlemen bahkan secara spesifik mengatur tentang kuota perempuan yakni pasal 65 ayat (1) : “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen”. Ketetapan keanggotaan legislatif baik tingkat nasional maupun lokal setidak-tidaknya merupakan angin segar bagi sistem politik Indonesia sehingga melonggarkan jalan bagi kaum perempuan yang ingin terjun ke kancah perpolitikan. Ketetapan ini juga menunjukkan semangat dan kemauan elit politik legislatif yang memberi kesempatan bagi perempuan untuk tampil lebih banyak.
Pada Pemilu 2004 ada sebuah tren baru dimana pihak-pihak luar ikut berpartisipasi dalam penghitungan suara. Pihak-pihak tersebut adalah selain dari para calon, juga dari media massa, lembaga-lembaga independen, dan juga dari lembaga-lembaga dari luar negeri. Adapun beberapa pihak tersebut adalah dari kebanyakan calon, LP3ES, NDI, dan MetroTV (dengan perhitungan Quick Count), Forum ITB 73 (Fortuga) dan Astaga.com (dengan Pusat Tabulasi Nasional Independen), dan lain lain. Selain itu, pemilu 2004 juga dipantau oleh Komisi Pemilihan Umum sendiri dan berbagai lembaga pemantau pemilu baik dari dalam maupun luar negeri.
2.3 Kebijakan Afirmasi: keterwakilan Perempuan
Kebijakan afirmasi (affirmative action) terhadap perempuan dalam bidang politik setelah berlakunya perubahan UUD 1945 dimulai dengan disahkannya UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Peningkatan keterwakilan perempuan berusaha dilakukan dengan cara memberikan ketentuan agar partai politik peserta Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% di dalam mengajukan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD menyatakan: “Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”.
Dari waktu ke waktu, affirmative action terhadap perempuan dalam bidang politik semakin disempurnakan. Hal itu dapat ditelaah ketika DPR menyusun RUU Paket Politik yang digunakan dalam pelaksanaan Pemilu 2009, yaitu UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu mengatur agar komposisi penyelenggara Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30%. Pasal 6 ayat (5) UU tersebut menyatakan bahwa : Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga
puluh perseratus)”. Pada kelembagaan partai politikpun, affirmatic action dilakukan dengan mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam penidirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat. UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang mengatur syarat pendirian Partai Politik, pada Pasal 2 menyatakan: ”Pendirian dan
pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”. Pada ayat sebelumnya dinyatakan bahwa: “Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaries”.
Tidak cukup pada pendirian partai politik, affirmative action juga dilakukan pada semua tingkatan kepengurusan dari pusat hingga kabupaten/kota. Mengenai pelaksaan dan teknisnya, diserahkan aturan masing-masing partai politik. Ketentuan tersebut sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 20 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik:‟Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing”.
Affirmative action terhadap perempuan pada partai politik, tidak berhenti pada pendirian dan kepengurusan saja. Partai politik baru dapat mengikuti Pemilu jika telah menerapkan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusannya di tingkat pusat. Penegasan tersebut diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Pada Pasal 8 ayat (1) huruf d menyatakan bahwa: ‟Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat”. Pengaturan yang lebih penting dalam rangka affirmative action agar perempuan dapat semakin berkiprah di lembaga legislatif adalah ketentuan mengenai daftar bakal paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Pasal 53 UU Pemilu No 10 Tahun 2008 menyatakan: “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”. Sementara, ketentuan pada Pasal 52 mengatur mengenai daftar bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh partai politik peserta Pemilu.
Dengan demikian, affirmative action keterwakilan perempuan dalam daftar bakal calon dilakukan tidak hanya untuk DPR, tetapi berlaku pula untuk DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota. Ketentuan lebih maju lagi dalam affirmative action adalah adanya penerapan zipper system. Sistem tersebut mengatur bahwa setiap 3 (tiga) bakal calon terdapt sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan. Pasal 55 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008 menyatakan: ‟Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon‟. Pada ayat (1) mengatur bahwa nama-nama calon dalam daftar bakal calon disusun berdasarkan nomor urut. Contoh dari penerapan zipper system tersebut, jika suatu partai politik menetapkan bakal calon nomor urut 1 hingga 3, maka salah satu di antaranya harus seorang bakal calon perempuan. Seorang perempuan harus diletakan pada nomor urut 1,2,atau 3 dan tidak di bawah nomor urut tersebut. Demikian selanjutnya, dari nomor urut 4 hingga 7, misalnya, maka seorang perempuan harus diletakan di antara nomor urut 4 hingga 6.
Lalu, sebagai salah satu penekanan lebih lanjut agar partai politik melaksanakan affirmative action terhadap bakal calon anggota legislatif tersebut, KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota diberi wewenang untuk memberitahukanya kepada publik. Pada Pasal 66 ayat 2 UU No. 10 Tahun 2008 dinyatakan: “KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap partai politik masing-masing pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional”.









BAB III
PEMBAHASAN


3.1 Tantangan Utama terhadap partisipasi perempuan
Perempuan dari berbagai daerah, latar belakang agama maupun sosial-ekonomi menghadapi sejumlah tantangan dan keterbatasan dalam hal partisipasi mereka di ranah publik. Meskipun demikian, beberapa hambatan umum yang dihadapi oleh para perempuan di Indonesia berdasarkan identitas mereka sebagai seorang perempuan berakar kuat dari sebuah wacana yang lebih besar, konteks kemasyarakatan social budaya, ekonomi, kelembagaan serta politis.
Tantangan-Tantangan Diskursif/Ideologis
Tantangan yang paling mendasar yang dihadapi oleh perempuan ketika akan memasuki ranah publik justru datang dari pemisahan wilayah yang luas antara ranah publik dan privat. Ideologi pemisahan tenaga kerja berdasarkan jenis kelamin menentukan perempuan sebagai seorang warga negara yang bersifat privat dengan peran utama di dalam rumah tangga sebagai ibu dan istri, sementara laki-laki diberikan peran yang lebih produktif di ranah publik. Dikotomi publik-privat ini membentuk struktur peluang bagi perempuan di Indonesia. Ideologi peran gender membuat kontribusi perempuan di ranah produktif tidak lagi terlihat. Peran mereka tidak diakui secara sosial, sehingga semakin sedikit sumber daya yang diinvestasikan pada perempuan sebagai sebuah modal (human capital) baik oleh keluarga maupun negara. Perempuan yang tidak memiliki daya secara finansial, memiliki kekurangan dalam hal kekuasaan sosial maupun ekonomi semakin sulit untuk masuk ke ranah politik yang amat didominasi oleh kaum laki-laki.
Hambatan Sosio-Ekonomi
Budaya patriarki dan nilai-nilai sosial di Indonesia menuntut perempuan untuk tidak berpartisipasi di ranah politik maupun pemerintahan, dan politik dianggap sebuah ranah yang prerogatif milik laki laki. Meskipun konteks sosial-budaya di Indonesia beragam dan perempuan menghadapi berbagai keterbatasan yang berbeda berdasarkan konteks yang berbeda juga, ada beberapa hambatan umum yang dihadapi oleh seluruh perempuan di negeri ini karena peran serta tanggung jawab domestik, status subordinasi dalam hubungan gender dan perilaku sosial yang bersifat patriarkis terhadap partisipasi mereka di ranah publik. Karena adanya ideologi peran gender, perempuan tidak siap untuk menjalankan peran publiknya, dan ketika perempuan, sebagai warga Negara yang bersifat privat mengambil peran public mereka, mereka tetap saja menghadapi tantangan yang sama yang mereka hadapi sebelum mereka masuk ke ranah publik.
Perempuan di Indonesia secara umum bukanlah pengambil keputusan di keluarga maupun di tataran masyarakat. Jajak pendapat yang dilakukan oleh UNDP tentang perilaku dan persepsi terhadap partisipasi perempuan secara sosial, ekonomi dan politis mengungkapkan bahwa 77,6 persen responden laki-laki maupun perempuan memandang bahwa laki-laki harus menjadi pengambil keputusan dan pemimpin di kalangan masyarakat, sementara 95 persen responden mengatakan bahwa laki-laki harus menjadi kepala rumah tangga. Sembilan puluh empat (94) persen dari responden merasa bahwa perempuan tidak boleh bekerja tanpa ijin dari suami mereka. Temuan dalam survey itu menunjukkan bahwa bias gender dalam pengetahuan, perilaku dan praktik di tengah-tengah masyarakat terus bercokol secara nasional di kalangan masyarakat indonesia. Karena adanya bias sosio-budaya di sub-kultur Indonesia, perempuan tertinggal dalam mengakses kesempatan yang sama terhadap sumber daya produktif, misalnya tanah, kredit, aset materiil, pengembangan keterampilan, dll. Perempuan di Indonesia juga mengalami kekurangan dalam hal modal, karena mereka bukanlah pemimpin-pemimpin di komunitas mereka dan tidak memiliki basis kekuasaan yang mandiri.
Hambatan Politis dan Kelembagaan
Sistem kepemiluan di Indonesia masih memberikan dukungan terhadap kekuasaan yang dipegang oleh elit politik, meskipun sistem daftar calon terbuka sudah mulai diperkenalkan pada pemilu 2009. Dalam sistem yang baru ini, pemilih bisa memilih partai politik, atau parpol dan calon legislatif, atau calon legislatif dari daftar calon. Peraturan pemilihan umum ini diharapkan dapat mendobrak monopoli pimpinan parpol dalam menentukan siapa yang akan mewakili kepentingan rakyat. Meskipun demikian, sistem baru ini tidak membawa banyak perubahan.
Di pemilihan umum yang paling terakhir, hanya 11 orang calon legislatif dari 560 orang anggota legislatif (DPR RI) mencapai ambang batas pemilu, tiga diantaranya adalah perempuan. Praktik yang berlaku di masyarakat luas pada akhirnya berdampak pada cara-cara parpol beroperasi, dan seperti halnya masyarakat di dunia, Indonesia berusaha menanggulangi korupsi, nepotisme dan eksploitasi kekuasaan sosial meskipun diakui bahwa perubahan yang positif sedang berjalan. Bagi perempuan, hal ini seringkali berarti nama mereka tidak akan tercantum sebagai nomor urut awal di daftar calon legislatif dari parpol mereka, dan ketidakmampuan mereka bernegosiasi dalam sistem ini.
Partai-partai politik di Indonesia tidak berinvestasi dalam pengembangan kader mereka. Perempuan tidak terpilih untuk menduduki posisi-posisi pengambil keputusan di dalam struktur partai, karenanya mereka tidak memiliki kesempatan belajar keterampilan di bidang politik. Karena marjinalisasi dan pengecualian perempuan dalam struktur partai, mereka tidak mampu mempengaruhi agenda-agenda politik yang diusung oleh partai mereka. Terlebih lagi, partai-partai politik tidak mendukung kampanye pemilu yang dilakukan oleh calon-calon mereka. Kurangnya dukungan dana dari partai politik juga merupakan salah satu tantangan lain yang harus dihadapi oleh perempuan yang ingin masuk ke dalam praktik politik formal. Indonesia sedang berada dalam proses melembagakan demokrasi. Reformasi di bidang kepemiluan, politik, dan kelembagaan telah diprakarsai setelah period pasca Orde Baru demi terciptanya partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat dan dipertimbangkannya suara mereka untuk tata kelola pemerintahan.
Kenyataan bahwa perempuan memiliki tingkat melek huruf yang lebih rendah dari laki-laki menempatkan mereka dalam posisi yang paling tidak menguntungkan ketika mereka masuk ke ranah publik. Sebagai tambahannya, budaya kelembagaan, praktik-praktik sumber daya manusia, aturan dan sistem tata kelola masih bersifat sangat maskulin. Lembaga-lembaga dan organisasi sektor publik tidak memiliki kesadaran gender dan kapasitas gender secara teknis. Perempuan tidak terlalu terwakili dalam posisi pembuat keputusan dalam sektor publik, dan tidak ada tindakan afirmatif untuk menangani kesenjangan gender di tataran manajemen senior di sektor publik.
Hambatan Pribadi dan Psikologis
Negara dan masyarakat Indonesia membentuk konsep perempuan secara sempit dalam peran stereotip sebagai istri dan ibu, dan memberikan status yang lebih rendah dari laki-laki. Ideologi peranan gender kemudian dimanipulasi untuk mengendalikan kehidupan dan seksualitas perempuan. Perempuan seringkali menginternalisasi konsep Dharma Wanita berdasarkan sosialisasi peran gender mereka. Identifikasi diri perempuan dengan peran reproduktif dan keutamaan melaksanakan tugas merawat keluarga mereka membentuk pilihan-pilihan mereka dalam berpartisipasi di ranah politik dan publik. Sebagai tambahan, kurangnya keterampilan politik dan kepercayaan diri, persepsi politik sebagai hal yang ‘kotor’ serta tanggung jawab merawat keluarga merupakan beberapa hambatan pribadi dan psikologis yang dialami oleh perempuan dalam berpartisipasi di ranah publik.
3.2 Kerangka kebijakan dalam meningkatkan partisipasi perempuan
Kurangnya keseimbangan gender di sektor politik dan pemerintahan merupakan hasil dari hambatan struktural dan fungsional yang menghalangi partisipasi perempuan dalam ranah publik. Kerangka kebijakan yang diusulkan ini dibangun dari sebuah pemahaman yang holistik tentang marjinalisasi dan kurangnya keterwakilan perempuan di tingkat pengambil keputusan di politik dan pemerintahan dengan konteks spesifik untuk negara Indonesia.
Kerangka ini menggunakan pendekatan antar bagian terhadap gender (inter-sectional approach). Perempuan bukanlah sebuah kelompok yang homogen. Mereka tidak memiliki keterbatasan dan peluang yang sama dalam berpartisipasi di ranah publik, dan identitas gender mereka termediasi melalui posisi sosial mereka sesuai dengan kelas, suku, agama dan pemisahan daerah perkotaan maupun pedesaan. Karenanya tindakan afirmatif dan yang mendukung peningkatan partisipasi perempuan di ranah public harus mempertimbangkan keberagaman dan perbedaan dalam hal tingkatan perempuan di berbagai wilayah di Indonesia.
Aspek lain dari pendekatan kebijakan ini adalah pendekatan ini adalah pendekatan yang berbasis hak dan kelembagaan pada saat yang bersamaan. Lembaga publik dan politik tidaklah netral secara gender. Dominasi laki-laki dan bias maskulin dari lembaga-lembaga tersebut secara sistematis menciptakan dan terus menciptakan kembali ketidakadilan melalui kebijakan, alokasi anggaran, peraturan dan system tata laksana. Karenanya, reformasi kelembagaan yang menangani masalah ideologi peran gender dan hubungan sosial antar gender merupakan bagian yang integral dari kebijakan untuk menjembatani kesenjangan gender yang terjadi dalam pembuatan keputusan secara publik. Berbagai faktor yang mengecilkan kapasitas perempuan dalam berpartisipasi di proses pembuatan keputusan publik menuntut pendekatan multi sektor. Kebijakan ini akan dimasukkan ke dalam proses reformasi konstitusional, politik, pelayanan publik dan desentralisasi yang kini sedang berjalan, yang berupaya untuk memberikan pengaruh terhadap konteks demokrasi dan pemerintahan yang lebih besar di Indonesia. Reformasi kelembagaan harus mengintegrasikan perspektif gende sehingga dapat memberikan ruang lebih kepada perempuan dalam struktur kuasa di dalam lembaga tersebut dan akses serta kendali yang lebih terhadap sumber-sumber daya yang ada. Koordinasi dan sinergi yang lebih baik dengan prakarsa-prakarsa pengembangan kapasitas yang kini sedang berjalan yang didukung oleh lembaga donor dalam sensitisasi gender, pengarusutamaan gender dan penganggaran berbasis gender akan diusulkan sebagai sebuah pendekatan untuk menghadirkan efisiensi dan dampak positif yang lebih besar.
Kebijakan untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam ranah publik juga akan berfokus pada angkatan muda dan akan bekerja di berbagai tingkatan (mikro, meso dan makro) dengan berbagai pemangku kepentingan. Kebijakan akan mempertegas tindakan yang harus dilakukan secara segera, di jangka menengah maupun jangka panjang. Beberapa isu serta tantangan di tataran fungsional yang dihadapi oleh para perempuan dalam memasuki ranah politik dan pemerintahan dapat ditangani melalui pembuatan peraturan yang bersifat mendukung, serta reformasi di bidang politik dan institusi. Meskipun demikian, upaya untuk menghadapi tantangan yang bersifat kultural, yang di dalamnya termasuk upaya merubah perilaku sosial terhadap peran perempuan di ranah publik akan membutuhkan intervensi jangka panjang.
Elemen-elemen Utama dalam Kebijakan dan Rekomendasi
Elemen-elemen utama dalam hal kebijakan menandai wilayah-wilayah intervensi yang paling strategis yang paling dapat menangani isu kurang terwakilinya perempuan di bidang politik dan pemerintahan di Indonesia.
Kesadaran Publik melalui Pendidikan Kewarganegaraan dan Pemilih.
Manusia adalah inti dari tata kelola pemerintahan yang dilakukan oleh negara dan masyarakat. Kepentingan dan kekhawatiran mereka harus secara benar terwakili dalam proses dan struktur tata kelola pemerintahan. Laki-laki dan perempuan mungkin memiliki kepentingan, kebutuhan, kekhawatiran dan prioritas politik yang berbeda-beda, karenanya wajib bagi demokrasi substantif untuk menciptakan ruang kelembagaan baik bagi laki-laki maupun perempuan agar suara mereka dipertimbangkan dalam pembuatan keputusan publik.
Kesadaran publik yang dibentuk oleh norma dan tradisi patriarkis tidak akan memberikan peran politis bagi perempuan. Politik dianggap sebagai sebuah ranah yang melulu bagi laki-laki, dan perempuan akan menghadapi tantangan untuk masuk ke dalam politik kepemiluan dan struktur tata kelola pemerintahan. Perubahan dalam hal persepsi dan perilaku publik terhadap peran perempuan dalam arena publik merupakan cara untuk membuka ruang dan kesempatan social politik bagi perempuan di ranah publik. Meskipun demikian perubahan sosial tidak terjadi dengan mudah dan akan membutuhkan upaya jangka panjang yang terus menerus diupayakan.
Sebuah kampanye peningkatan kesadaran publik yang dirancang dengan baik di skala nasional perlu diluncurkan melalui media massa dan organisasi masyarakat sipil dalam jangka panjang agar dapat membawa perubahan terhadap pola pikir tradisional terkait dengan peran perempuan di ranah politik dan pemerintahan. Kampanye kesadaran publik harus menjadikan perempuan dan laki-laki sebagai sasaran, karena perempuan seringkali menginternalisasi ideologi peran gender dan juga meyakini stereotip gender yang dilekatkan pada mereka.
Pada pemilihan umum sebelumnya (2009) kampanye pendidikan pemilih jangka pendek diselenggarakan oleh LSM dengan dukungan dana dari lembaga-lembaga donor. Pendekatan semacam ini tidak memberikan kesadaran jangka panjang bagi para konstituen dalam memahami hak hukum dan politik mereka, dan kampanye pendidikan pemilih harus diintegrasikan ke dalam pendidikan kewarganegaraan dan kesadaran gender, yang harus diselenggarakan dan didukung secara jangka panjang. Kampanye-kampanye ini harus dapat menciptakan kesadaran publik akan isu-isu gender, praktik demokrasi yang baik, keadilan gender, peran dan tanggungjawab pemilih, serta perilaku yang mendukung partisipasi dan keterwakilan perempuan secara politis. Pendekatan ini harus menunjukkan kemitraan antara media masa dan organisasi masyarakat sipil.
Perubahan pada persepsi publik akan mendorong perempuan untuk masuk ke dalam proses politik sebagai pemilih, anggota partai politik, caleg atau kandidat, dan perwakilan terpilih. Kepentingan publik dan keinginan menerima perempuan untuk berperan dalam politik akan memberikan tekanan terhadap kepemimpinan laki-laki di partai politik sehingga dapat memberikan ruang bagi perempuan dalam hirarki dan pencalonan partai politik. Sebagai tambahan, meningkatnya kesadaran politis dan gender akan berujung pada semakin tingginya minat publik terhadap politik kepemiluan yang juga akan dapat meningkatkan tren hasil suara pemilu yang cenderung menurun di Indonesia, serta tren negatif di kalangan para pemilih yang menjual suara mereka demi keuntungan finansial belaka.
Reformasi Hukum, Politik, Kepemiluan dan Kelembagaan.
Pemerintah demokratis di Indonesia yang sudah mengambil alih tampuk kepemimpinan sejak 1999 telah mengambil beberapa langkah prakarsa dalam menciptakan sebuah lingkungan yang memberikan kesempatan bagi partisipasi perempuan dalam ranah publik melalui pengenalan reformasi di bidang hukum, politik, kepemiluan dan kelembagaan. Meskipun demikian, kesenjangan gender yang terus menganga dan isu-isu yang terkait dengan pelaksanaan peraturan perundangan yang membutuhkan partisipasi yang lebih besar lagi dari para perempuan di bidang politik dan pemerintah menuntut intervensi yang lebih jauh lagi dari pemerintah di kedua ranah tersebut.
Peraturan 30 persen kuota gender dalam daftar calon legislatif yang diperkenalkan dalam UU No 10/2008 tidak memberikan hasil keterwakilan perempuan sebesar 30 persen di lembaga-lembaga legislatif pada tataran nasional, sub-nasional dan pemerintahan lokal, serta menuang banyak kontroversi. Berbagai pilihan dan modalitas untuk persyaratan kuota 30 persen untuk perempuan dibahas di lingkup pemerintah maupun masyarakat sipil. Ada beberapa pandangan mengenai modalitas pemilu dari kuota gender di politik. Dan masing-masing pandangan yang diusung memiliki keuntungan dan kerugian. Ada pandangan yang mendukung dilaksanakannya kembali zipper system untuk memastikan bahwa memang ada keterwakilan 30 persen perempuan di dalam struktur politik formal negeri ini. Yang lain menuntut perubahan dalam UU tersebut yang menjadikannya wajib bagi partai politik untuk memilih 30 persen calon legislatifnya perempuan, tidak peduli siapa yang mendapatkan suara tertinggi dalam daftar tersebut.
Pilihan untuk menjadikan keanggotaan ganda dari konstituen secara bergilir juga dibahas di beberapa lingkar diskusi. Hal ini merupakan modalitas pemilu untuk kuota gender yang sudah
dipraktikkan di India oleh pemilu pemerintah daerah di sana. Dalam modalitas ini, sepertiga konstituen dari daerah pemilihan dipilih melalui sebuah penarikan (semacam undian), dan kemudian dinyatakan sebagai konstituen anggota ganda. Dalam konstituensi anggota ganda, pemilih memilih dua orang calon, satu untuk calon yang berada dalam kursi untuk memenuhi kuota gender dan satu lagi untuk kursi umum. Pada pemilihan umum berikutnya, hal tersebut dilakukan di konstituensi yang lainnya. Dalam waktu tiga kali pemilihan umum keseluruhan negara tersebut melakukan sistem konstituensi anggota ganda. Ada yang puas dengan peraturan hukum 30 persen perempuan dalam daftar calon namun menuntut sangsi bagi partai politik yang tidak mematuhi undang-undang tersebut. Terakhir, ada pilihan untuk melakukan kembali sistem zipper, namun juga melaksanakan peraturan yang berlaku bahwa mereka yang mendapatkan suara terbanyak akan terpilih apapun posisi mereka di dalam daftar calon.
Dalam konteks politik Indonesia, dimana pimpinan partai politik sangat berkuasa dan enggan mencantumkan nama-nama calon perempuan pada posisi yang mungkin menang dalam daftar nama calon, sebuah peraturan hukum harus didukung dengan memperkenalkan kembali system zipper. Sistem ini juga harus dikombinasikan dengan peraturan yang ada yang memberikan pilihan kepada para pemilih untuk memilih perwakilan mereka. Dalam kasus ini, partai politik yang memenuhi batasan kepemiluan akan dapat memilih calon-calon yang mendapatkan suara terbanyak. Suara partai politik akan digunakan untuk memilih calon dari daftar yang sudah di ‘saring’ secara zipper itu. Tindakan legislatif juga harus diambil untuk dapat memperkuat jumlah perwakilan 30 persen perempuan di kabinet, komisi-komisi, dan komisi nasional.
Pasal 8 Paragraf (1) dari UU No.10/2008 mengenai Pemilihan Umum mensyaratkan partai politik untuk memasukkan setidaknya 30 persen perempuan dalam dewan pimpinan pusat partai tersebut. Meskipun demikian syarat tersebut tidaklah wajib, sehingga partai politik bisa saja tidak mengindahkan peraturan tersebut. Intervensi legislatif diperlukan untuk membawa perubahan pola pikir tradisional partai politik. Karenanya, sangatlah direkomendasikan untuk menjadikan peraturan itu wajib bagi partai politik untuk memberikan 30 persen perwakilan perempuan dalam dewan pimpinan pusat partai tersebut melalui peraturan perundangan. Hal ini kemudian dapat menjadi prasyarat untuk mengikuti pemilu. Juga ketika ada kebutuhan akan advokasi dan lobi yang efektif dengan pemerintah untuk memberikan anggaran belanja negara kepada parpol, dan bagi parpol untuk mendanai kampanye pemilu bagi para calon legislatifnya secara umum dan secara khusus bagi caleg perempuan. Melihat keragaman status perempuan dan dominasi elit partai politik, juga direkomendasikan bahwa harus ada kriteria yang dikhususkan untuk calon legislatif perempuan. Hanya perempuanperempuan yang dapat dicalonkan untuk memenuhi kuota gender dalam daftar calon legislatif pemilu dari partai politik, dan di dalam lembaga parlemen yang memiliki sejarah pribadi serta komitmen untuk bekerja untuk kesetaraan gender. Dengan tidak adanya kriteria khusus itu maka sisi membahayakan dari hal ini adalah hanya perempuan dengan latar belakang elit saja yang dapat mengambil posisi di dalam kuota gender. Hal ini terbukti dengan sejumlah besar selebritis perempuan yang tidak memiliki latar belakang sama sekali bekerja untuk masalah-masalah perempuan namun terpilih sebagai anggota legislatif.
Selain pemilihan umum hingga badan-badan legislatif, perempuan juga menghadapi hambatan lain untuk terpilih sebagai posisi pimpinan strategis. Revisi UU Parlemen Nomor 27/2009 juga reformasi protap DPR RI, DPD RI dan DPRD harus dilakukan untuk memperkenalkan pengarusutamaan gender lembaga tersebut di seluruh negeri. Kuota gender juga harus diperkenalkan di sektor publik di seluruh tataran pemerintah, seluruh eselon 1 hingga 4 melalui peraturan perundangan. Melalui peraturan hukum, pemerintah daerah harus dilarang untuk membuat undang-undang yang melanggar prinsip-prinsip kesetaraan gender yang ada di dalam hukum. Ini akan membawa negara ini sejalan dengan kovenan-kovenan yang ada seperti CEDAW, dan menegaskan bahwa diskriminasi berbasis gender tidak dapat ditolerir secara hukum.
Perempuan Indonesia yang masuk ke dalam lembaga sektor publik meningkat, namun mereka terus menerus menghadapi berbagai hambatan. Untuk mengatasi ketidakseimbangan gender, revisi UU pegawai negeri Indonesia harus segera dilakukan. Hampir tidak adanya perempuan di posisi eksekutif dan manajemen senior di administrasi publik menuntut adanya tindakan perbaikan dalam hal perekrutan dan promosi pegawai negari. Karenanya, disarankan bahwa kuota gender juga diberlakukan di seluruh eselon yang ada di pegawai negeri. Ini adalah sebuah strategi yang akan menghasilkan hasil dengan cepat dalam menangani ketidakseimbangan gender dalam posisi-posisi pengambil keputusan di pemerintah. Namun, persentase kuota gender di kerja-kerja pemerintah dan pelayanan publik harus dilakukan dengan berkonsultasi dengan masyarakat sipil dan kementerian serta lembaga pemerintah terkait. Jumlahnya harus mempertimbangkan ketersediaan perempuan-perempuan berkualitas di negeri ini dan juga yang ada di sektor pemerintahan.
Hadirnya perempuan di posisi-posisi eksekutif di pemerintahan tidak akan serta-merta berdampak pada perubahan kebijakan atau tata kelola pemerintahan yang lebih peka gender. Serangkaian reformasi di bidang kelembagaan dapat membuat strategi kuota gender itu bekerja dengan baik. Saat ini, piranti administratif negara kekurangan dalam hal kapasitas gender dan pengetahuan teknis untuk melaksanakan inklusif gender dan perilaku yang responsif. Karenanya, direkomendasikan bahwa ada kurikulum pelatihan di lembaga-lembaga pemerintah, misalnya Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan), Lembaga Administrasi nasional (LAN), dan Badan Kewarganegaraan Nasional (BKN) dan Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) yang bertanggung jawab untuk pengembangan kapasitas negara ini ditingkatkan. Kurikulum pelatihan bagi lembaga-lembaga tersebut dan akademi-akademi pelayanan public harus mengintegrasikan perspektif gender ke dalam pelatihan staf mereka dan mengembangkan kapasitas gender dari para pejabat pemerintahan dalam melakukan analisis gender, perencanaan gender, mengembangkan indikator kinerja gender dan penilaian dampak gender, audit dan penganggaran gender. Prioritas lain dalam reformasi kelembagaan termasuk pemberian struktur baru dari peraturan dan tata laksana, kriteria kinerja, pemantauan dan evaluasi, mekanisme promosi dan akuntabilitas yang ada saat ini dari perspektif gender. Pemerintah juga harus bertanggungjawab terhadap hasil kesetaraan gender yang akan diintegrasikan kedalam penilaian kinerja para pejabat dan lembaga pemerintahan. Menciptakan lingkungan kerja yang aman, memungkinkan dan mendukung bagi perempuan juga harus menjadi bagian dari paket reformasi kelembagaan.
Pelaksanaan kebijakan anti-pelecehan seksual, institusionalisasi aduan dan mekanisme penanganan terhadap tindakan intimidasi dan pelecehan seksual di tempat kerja, tempat-tempat penitipan anak, serta toilet terpisah bagi perempuan adalah beberapa hal yang dapat menjadikan budaya serta lingkungan kelembagaan dari kantor lebih aman dan nyaman bagi perempuan. Akhirnya, insentif positif atau tindakan-tindakan penghukuman juga harus dikaitkan dengan kinerja dari lembaga-lembaga di tataran pemerintah daerah. Pemerintah daerah yang tidak melibatkan perempuan dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan di daerahnya harus diberikan hukuman dan yang melibatkan perempuan harus diberikan insentif.

Dukungan Kapasitas
Partisipasi deskriptif tentang perempuan di struktur politik formal dan pemerintahan tidak serta merta berujung pada perwakilan yang substantif. Setelah mendapatkan angka pasti maka perlu dilakukan investasi secara finansial dalam sumber daya manusia dan dalam mengembangkan kapasitas gender lembaga itu. Ketidakadaan pengetahuan tentang gender, dan pengetahuan teknis maka komitmen tata kelola pemerintahan yang lebih peka gender tidak akan dapat diterjemahkan menjadi kenyataan.
Saat ini, tidak ada penilaian kebutuhan/kapasitas gender yang komprehensif untuk lembaga-lembaga sektor publik. Meskipun demikian, ada beberapa proyek yang didanai oleh donor dengan komponen pengembangan kapasitas yang kini sedang berjalan di negara ini (UNIFEM, DFID, UNDP dan UNFPA merupakan beberapa lembaga yang memprioritaskan gender). Inisiatif-inisiatif tersebut termasuk di dalamnya pelatihan dalam sensitisasi gender, analisis gender, perencanaan dan pemrograman gender, pengarusutamaan gender, penganggaran gender yang dilakukan dengan para pejabat pemerintahan, anggota parlemen dan pemerintah daerah. Kurangnya kapasitas sektor publik dalam mengintegrasikan perspektif gender ke dalam kebijakan publik dan rencana-rencana pembangunan ada kebutuhan untuk melakukan koordinasi dengan lebih baik dalam upaya-upaya pengembangan kapasitas gender untuk menghindari duplikasi dan mencapai dampak yang lebih besar lagi.
Untuk pelaksanaan INPRES No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Perencanaan dan Pemrograman Pembangunan Nasional, dan instruksi Departemen Dalam Negeri untuk menggunakan analisis gender dalam proses penganggaran, program dukungan kapasitas gender skala nasional perlu membangun kapasitas gender dalam mengeluarkan hasil-hasil kesetaraan gender. Rencana pengembangan kapasitas juga harus bekerja dengan perwakilan terpilih di seluruh tataran pemerintah (nasional, regional dan lokal), partai politik, komisi pemilihan umum, kaukus perempuan dan departemen serta lembaga terkait. Keterlibatan masyarakat sipil juga akan membantu membuat kerja ini menjadi lebih pragmatis dan realistis.
Partisipasi deskriptif perempuan dalam lembaga politis formal melalui kuota gender tidak serta merta membawa perubahan dalam hal politik dan kebijakan publik kecuali jika para legislator perempuan juga mendapatkan pengetahuan akan gender. Hingga saat ini pelatihan transformatif gender harus diselenggarakan dengan para perwakilan publik di ranah politik maupun pemerintahan.
Ada kebutuhan untuk memperkuat fungsi parlementer melalui penelitian dan dukungan teknis dalam membuat kebijakan. Kaukus Parlemen untuk Perempuan dan Kaukus Perempuan dalam Politik juga harus didukung dan diperkuat. Komisi-komisi pemilihan umum di tingkat nasional, regional dan lokal juga harus dibuat peka dalam hal gender melalui pelatihan-pelatihan. Dukungan kapasitas gender juga harus diberikan kepada para partai politik dan pekerja mereka sehingga bisa menciptakan kepekaan gender. Piranti-piranti khusus bagi para perempuan misalnya Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Komnas Perempuan harus didukung dan diperkuat. Kapasitas gender bagi mahkamah konstitusi dan Departemen Dalam Negeri juga harus diperkuat karena mereka bertanggung jawab meninjau perda-perda yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Untuk membangun kapasitas kelembagaan, kurikulum akademi pelayanan publik dan lembaga pelatihan pemerintahan harus juga diperkuat. Melalui pelatihan, kapasitas gender dari para pejabat pemerintahan harus dibangun untuk melakukan perencanaan, penganggaran, pemantauan dan evaluasi serta penilaian dampak yang peka terhadap gender. Pelatihan gender sebagai sebuah strategi dan alat harus dilaksanakan sebagai bagian dari proses jangka panjang dan tidak sebagai acara yang berlaku satu kali saja. Hingga saat ini, tindak lanjut secara teratur dan penilaian akan dampak dari pelatihan gender itu harus dilakukan.
Pengembangan Jejaring dan Koalisi
Diskriminasi gender dalam partai politik dan lembaga pemerintah amatlah sering terjadi dan tidak bisa diatasi secara seorang diri. Tanpa mengumpulkan suara dari kelompok perempuan yang termarjinalkan, tidak akan pernah ada pertanggungjawaban dari partai politik maupun lembaga sektor publik tentang kepekaan terhadap gender.
Kelompok kepentingan dan organisasi masyarakat sipil harus dimobilisasi dan diorganisir menjadi koalisi dan jejaring yang lebih besar agar dapat memiliki suara dan aksi bersama. Dengan melakukan ini, tantangan terhadap patriarkis yang bersifat publik, dominasi laki-laki dan diskriminasi berbasis gender di ranah politik dan pemerintahan dapat tertangani dengan baik secara bersama-sama.
Pembangunan jejaring dan koalisi merupakan strategi yang paling kuat dan berhasil diterapkan di berbagai negara dimana struktur kekuasaan kelembagan yang patriarkis dipaksa untuk lebih peka dan tanggap terhadap kepentingan perempuan. Sangatlah direkomendasikan untuk memperkuat dan mendukung jejaring perwakilan perempuan yang sudah ada. Saat ini, dua kaukus perempuan, yakni Kaukus Parlemen Perempuan dan Kaukus Perempuan Politik sudah berjalan di Indonesia. Kaukus-kaukus perempuan ini harus didukung dan diperkuat dalam mempengaruhi peraturan perundangan, penganggaran, dan peran-peran pemantauan tata kelola pemerintahan lainnya.
Saat ini belum ada keterkaitan formal antara para perwakilan perempuan yang bekerja di berbagai tingkatan pemerintahan. Pendirian jejaring yang secara vertikal mengaitkan dengan para perwakilan perempuan di tataran lokal, sub-nasional dan nasional akan membantu dalam memperkuat kapasitas dan kebersamaan para perwakilan perempuan. Melalui jejaring yang demikian, para perwakilan perempuan dapat menciptakan basis kekuasaan mereka sendiri dan membantu sama lain dalam mendorong agenda kesetaraan gender di dalam kerja-kerja parlemen.
Keterkaitan antara perwakilan terpilih dan para pemilih sangatlah lemah di dalam demokrasi Indonesia, sebagian karena sistem keterwakilan proporsional dalam pemilu. Daftar terbuka yang ada dalam sistem ini memberikan kesempatan bagi para caleg untuk memiliki hubungan yang lebih dekat dengan para konstituennya. Sangatlah penting dalam fase pasca pemilu, masyarakat tetap memiliki akses yang mudah untuk berhubungan dengan perwakilan mereka.
Sebuah forum publik untuk menjembatani yang terpilih dan kebutuhan-kebutuhan kepemiluan harus dibentuk dan didukung di Indonesia untuk menjamin bahwa pilihan dan suara-suara masyarakat terdengar oleh para perwakilan mereka secara teratur. Kaukus-kaukus lintas partai yang berbasis isu/wacana untuk peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan juga harus dibentuk. Ketika perempuan mengidentifikasi diri dan bergerak pada kepentingan yang sama, maka mereka berada di dalam posisi yang lebih baik untuk mencapai tujuan mereka.
Gerakan perempuan yang kuat di luar parlemen juga menjadi sumber kekuatan bagi para perwakilan perempuan di dalam lembaga legislatif. Mendukung dan memperkuat gerakan perempuan dan kelompok masyarakat sipil di luar parlemen harus menjadi bagian dari kebijakan untuk mendukung partisipasi politik perempuan yang lebih kuat dalam lembaga legislatif. Untuk merubah budaya partai politik, para pekerja partai politik yang perempuan hanya dapat melakukan lobi politik yang efektif untuk isu kesetaraan gender di dalam partai politik mereka, jika mereka bicara dengan satu suara. Anggota perempuan partai politik harus didorong dan difasilitasi untuk membentuk kaukus-kaukus berbasis isu di dalam partai politik mereka. Yang terakhir, jejaring dalam parlemen yang terdiri dari para perempuan indonesia anggota parlemen di dalam wilayah ini dan dengan demokrasi yang semakin terbangun akan memberikan kesempatan untuk berbagi pengalaman dan meningkatkan pengetahuan mereka mengenai strategi-strategi efektif yang digunakan oleh para anggota legislatif perempuan di negara-negara lain dalam meningkatkan dan melindungi kepentingan-kepentingan perempuan melalui legislasi dan kebijakan publik.
3.3  Kemajuan Kebijakan Afirmasi terhadap keterwakilan perempuan di parlemen
Gerakan peningkatan keterwakilan perempuan menghadapi tantangan dari parpol, DPR, dan pemerintah. Tabel dibawah ini menggambarkan tantangan terhadap kebijakan afirmasi dalam bentuk kuota 30 persen perempuan. Tabel tersebut menunjukkan sikap 48 parpol peserta Pemilu 1999 terhadap usul kuota 30 persen keterwakilan perempuan. Sedang sikap pemerintah terlihat dari materi RUU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yang sama sekali tidak mengakomodasi gagasan kebijakan afirmasi. Sikap pemerintah ini jelas bertentangan dengan Konvensi Penghapusan terhadap Segala Bentuk Diksriminasi terhadap Perempuan (The Convention on the Elimination of All Form Discrimination Against Women, CEDAW) yang disahkan melalui UU No.7/1984.
Sumber: Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana.
Namun kerja keras gerakan perempuan pasca-Pemilu 1999 telah menghasilkan kemajuan berarti, sebagaimana terlihat dalam dua undang-undang politik, yaitu UU No. 31/200215 dan UU No. 12/2003.16 Pasal 13 ayat (3) UU No. 31/2002 mengintroduksi tentang perlunya keadilan gender dalam kepengurusanparpol. Pasal 65 ayat (1) UU No. 12/2003 untuk pertama kalinya menerapkan kebijakan afirmasi dalam bentuk kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam susunan daftar calon anggota legislatif. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam kedua undang-undang itu memang sangat normatif karena tidak diikuti sanksi bagi parpol yang melanggarnya. Meskipun demikian, jika ditarik mundur ke belakang, hal itu sesungguhnya merupakan lompatan politik luar biasa, mengingat sebelumnya rezim Orde Baru telah menyingkirkan perempuan dari arena politik. Selama 32 tahun masa Orde Baru, organisasi-organisasi perempuan diarahkan pada kegiatan sosial dan keluarga (domestifikasi) serta diawasi secara ketat. Oleh karena itu, dengan segala keterbatasannya, ketentuan yang terdapat dalam UU No. 31/2002 dan UU No. 12/2003 harus ditempatkan sebagai batu loncatan pertama untuk meningkatkan keterlibatan perempuan dalam politik pada masa mendatang. Apalagi setelah dipraktikkan melalui Pemilu 2004, ketentuan UU Pemilu itu berhasil meningkatkan jumlah perempuan di parlemen .
Jika jumlah anggota perempuan DPR hasil Pemilu 1999 adalah 45 orang atau 9 persen dari 500 anggota, hasil Pemilu 2004 jumlahnya meningkat menjadi 61 orang atau 11 persen dari 550 anggota DPR. Menjelang Pemilu 2009, pada saat DPR dan pemerintah menyusun undang-undang politik baru, para aktivis, kelompok dan organisasi-organisasi perempuan kembali berjuang dengan target agar formulasi kebijakan afirmasi kuota 30 persen perempuan di dalam undang-undang lebih konkret dan lebih menguntungkan perempuan. Tidak jauh berbeda dengan kondisi lima tahun sebelumnya, kali ini kelompok perempuan juga harus mengerahkan segala daya upaya menghadapi kekuatan patriarkhi di parpol, DPR, dan pemerintah. Hasilnya memang tampak ada kemajuan, sebagaimana terlihat dalam UU No.2/2008 dan UU No. 10/2008. Pasal 2 ayat (5) UU No. 2/2008 secara eksplisit mengharuskan parpol menempatkan sedikitnya 30 persen perempuan dalam kepengurusan parpol. Sedang Pasal 55 ayat (2) UU No. 10/2008 mengadopsi susunan daftar calon model zigzag atau zipper yang dimodifikasi. Jika dilihat dari sisi metode pencalonan, UU No. 10/2008 tampaknya akan menguntungkan calon-calon perempuan karena minimal satu dari tiga calon harus perempuan. Itu artinya, jika ada parpol yang mendapatkan tiga kursi, bisa dipastikan ada calon perempuan terpilih. Namun dengan melihat besaran daerah pemilihan (district magnitude), yakni 3-12 kursi untuk DPRD dan 3-10 kursi untuk DPR, sangat kecil kemungkinan parpol memperoleh tiga kursi atau lebih. Demikian juga dengan melihat formula penetapan calon terpilih, di mana calon yang memperoleh 30 persen bilangan pembagi pemilihan (BPP) diprioritaskan untuk menjadi calon terpilih, calon perempuan yang tertera pada nomor urut satu atau dua pun terancam oleh calon laki-laki yang mendapatkan suara 30 persen BPP atau lebih. Belum lagi ketentuan yang membuka peluang buat parpol untuk mengganti calon terpilih dengan dalih calon penggantinya memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan. 
Dengan demikian UU No.10/2008 pada satu sisi seperti membuka lebar bagi terpilihnya calon perempuan, namun di sisi yang lain justru menutupnya. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen mendapat perlawanan serius dari parpol dan anggota DPR. Mereka berhasil memainkan semua variabel teknis pemilu secara maksimal, sementara gerakan perempuan terkonsentrasi pada satu variabel saja, yakni metode pencalonan. Selain itu, gerakan ini menghadapi opini yang dikembangkan kelompok-kelompok lain, yaitu bahwa sistem pemilu proporsional dengan daftar tertutup tidak demokratis dan besaran dapil yang kecil akan menguntungkan partai besar dan mengancam demokrasi. Padahal susunan daftar calon model zigzag atau zipper hanya berlaku efektif pada sistem pemilu proporsional daftar tertutup; demikian juga partai hanya mungkin dapat dua atau tiga kursi bila besaran daerah pemilihan dikecilkan. Perjuangan meningkatkan jumlah perempuan di parlemen mencapai antiklimaks, ketika pada 22 Desember 2008 Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa formula penetapan calon terpilih berdasarkan perolehan suara 30 persen BPP dan nomor urut (sebagaimana diatur dalam Pasal 214 UU No.10/2008), bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Mahkamah Konstitusi, formula penetapan calon terpilih yang sesuai dengan konstitusi adalah berdasarkan perolehan suara terbanyak. Putusan tersebut merupakan pembenaran terhadap usulan beberapa parpol yang hendak merevisi pasal yang mengatur penetapan calon terpilih, dari 30 persen BPP dan nomor urut menjadi berdasarkan suara terbanyak.
Akhirnya, Tabel 3.2 menunjukkan perkembangan pengadopsian kebijakan afirmasi dalam undang-undang bidang politik, yaitu UU Partai Politik (UU No. 31/2002 dan UU No. 2/2008) dan UU Pemilu (UU No. 12/2003 dan UU No.10/2008).



 














                                          









BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Separoh dari  jumlah penduduk Indonesia adalah perempuan. Oleh karena itu perlu sekali diberi perhatian terhadap kepentingan politiknya. Dalam hal ini kebijakan sangat dibutuhkan perannya dalam memberdayakan perempuan dalam kepentingan politik. Adanya kebijakan afirmasi mengenai quota 30% keterwakilan perempuan dalam mengisi kursi parlemen menjadi titik terang bagi kaum perempuan. Namun tidak hanya selesai pada permasalahan kebijakan afirmasi. Akan tetapi, ada beberapa hambatan- hambatan serta tantangan- tantangan yang tentunya dapat menghambat perkembangan dari keberhasilan kebijakan afirmasi dan partisipasi perempuan dalam mengisi kursi parlemen. Hambatan/ tantangan tersebut diantaranya tantangan diskursif/ ideology, tantangan sosio-ekonomi, hambatan politis dan kelembagaan, serta hambatan pribadi dan psikologis.
Dalam mengatasi tantangan dan hambatan-hambatan yang ada, terlebih hambatan tersebut erat kaitannya dengan budaya, dan ideology yang telah tertanam di masyarakat , pemerintah perlu memberikan solusi seperti memberikan kesadaran public melalui pendidikan kewarganegaraan dan pemilih; reformasi hukum, politik, kepemiluan, dan kelembagaan; dukungan kapasitas; dan pengembangan jejaring dan koalisi.
Saran
Dalam usaha meningkatkan keterwakilan perempuan, perlu melakukan pendekatan ke Partai agar partai mau  mengeluarkan berbagai kebijakan yang dapat meningkatkan keterwakilan perempuan antara lain:
1.      Partai  mengeluarkan kebijakan untuk  meningkatkan kualitas perempuan  seperti  memberikan pendidikan dan pengkaderan politik
2.      Partai  mengeluarkan kebijakan yang menyadarkan pemilih akan pentingnya memilih wakil-wakil rakyat yang berpihak kepada perempuan
3.      Partai  didorong untuk menempatkan perempuan pada jabatan-jabatan strategis dalam partai
4.      Partai harus merekruit caleg perempuan dengan Kriteria khusus yaitu caleg perempuan yang memiliki amanah Pemilu
Selain itu, apabila tingkat menyadari ratio keterwakilan perempuan dalam parlemen masih rendah, maka perempuan  harus meningkatkan usaha dan melakukan gerakan untuk memajukan perempuan dalam politik. Untuk hal ini perlu dukungan dari seluruh perempuan di Indonesia, Para  perempuan baik  yang berada di pemerintahan, di legislative, yang bekerja sebagai karyawan swasta, buruh pabrik, ataupun professional harus turut serta mendukung usaha meningkatkan keterwakilan perempuan dalam parlemen. Dan apabila keterwakilan perempuan dalam parlemen cukup signifikan maka perempuan dalam parlemen akan dapat mendorong berbagai kebijakan yang berpihak kepada perempuan dan meningkatkan pengawasan terhadap program dan anggaran, baik pada level perencanaan maupun pencapaian pembangunan.











DAFTAR PUSTAKA

e-book :
Andriana, nina., dkk. 2012. Perempuan, partai politik, dan parlemen: studi kinerja anggota legislatif perempuan di tingkat lokal. Jakarta: LIPI
Kelly, norm., Ashiagbor, sefakor. Partai politik dan demokrasi dalam perspektif teoritis dan praktis: kelompok parlemen. National Democratic Institute
Surbakti, ramlan.,dkk. 2011. Meningkatkan keterwakilan perempuan: penguatan kebijakan afirmasi. Jakarta: Kemitraan bagi pembaruan tata pemerintahan
_____. 2010. Naskah Rekomendasi Kebijakan: Representasi Perempuan dalam Regulasi Partai Politik dan Pemilu. Jakarta: PUSKAPOL FISIP UI
_____. 2010. Partisipasi Perempuan dalam Politik dan Pemerintahan. UNDP Indonesia